|
Pemilu Presiden, Legislatif, Pilkada
Politik "Aliran" yang Mana? 2009-04-06 Secara tradisi istilah "aliran" digunakan sebagai alat untuk menerangkan perilaku politik di
Indonesia. Asal muasal penggunaan istilah ini biasanya ditarik dari ilmu antropologi dengan
ranah kajian di daerah Jawa.
Namun demikian konsep aliran sudah lama juga digunakan sebagai alat penjelasan di dunia
kepemiluan Indonesia. Misalnya sering dicatat dulu bahwa basis dukungan kepemiluan dari
kaum santri diarahkan pada kekuatan politik di kubu kanan (NU dan Masjumi) sedangkan dari
kaum abangan dukungan diarahkan pada kekuatan politik di kubu kiri (PNI dan PKI) pada tahun
1950an.
Sejak lama saya sendiri merasa agak ragu untuk menggunakan pendekatan "aliran " sebagai alat
keterangan untuk mengerti sikap pemilih terhadap masing-masing kekuatan partai politik.
Misalnya pertanyaan sederhana adalah pemaknaan santri dan abangan di tengah masyarakat
Minahasa bagaimana?
Bahwasanya ada pembelahan sikap partisan (dan kepemiluan) dalam masyarakat Indonesia tidak
pernah saya ragukan. Yang menjadi pertanyaan penting adalah bagaimana menafsir garis
pembelahan kepemiluan di Indonesia. Pendek kata, garis (atau aliran) kanan dan kiri itu apa?
Sejak pemilu 1999, saya sering dihubungi orang dari luar yang ingin tahu partai kiri yang mana
dan partai kanan yang mana. Masalanya konsep kiri-kanan di bangsa Barat cukup berbeda dari
pada di sini. Di sana kiri lebih di-identik dengan pihak yang mendukung peran besar Pemerintah
dalam tatanan ekonomi sedangkan sayap kanan yang lebih di-identik sebagai pendukung pasar
bebas dari "campur tangan " Pemerintah yang minim.
Saya selalu menjelaskan bahwa di Indonesia sikap umum terhadap penataan ekonomi adalah
pragmatis, yaitu sistem mana yang efekif pada saat tertentu. Misalnya perkembangan kebijakan
ekonomi selama Orde Baru menunjukkan sikap pragmatis ini sebagai berikut:
Liberalisasi (sebelum boom minyak pertama)
Industrialisasi padat modal dari negara (selama boom minyak 1970an)
Pembangunan sarana sosial ekonomi pedesaan (akhir 1970an sampai 1986)
Deregulasi dengan mengutamakan pasar ekspor (setelah harga minyak mulai jatuh pada
pertengahan 1980an)
Pasar campur dengan mengutamakan proyek dan industri "khusus " (sejak pertengahan 1990an)
* Artikel ini diterbitkan dalam edisi Tempo tertanggal 31 Maret − 6 April 2009. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Tempo atas izin untuk menayangkan artikel ini dalam website
kami.
Jelas sekali di bawah pemimpin yang sama posisi "ideologis " kebijakan ekonomi berpindah
haluan secara cukup sering. Jadi jika "kiri-kanan " dalam konteks Indonesia tidak didasarkan
pembelahan sikap ideologis ekonomi, maka pembelahan berdasarkan apa?
Secara singkat, jawaban berputar sekitar posisi Agama Islam dalam ranah umum. Pembelahan
kekuatan kepemiluan sepanjang garis kiri-kanan di Indonesia terdiri dari tiga kelompok kekuatan
politik. Secara sederhana gambaran kelompok ini dapat dicatat sebagai 3B, yaitu kelompok
bantengis (kiri), kelompok bintangis (kanan) dan selama generasi terakhir kelompok ketiga yang
telah muncul adalah kelompok beringinis (menengah).
Pada kubu kiri terletak kelompok yang mempunyai sikap yang sangat was-was terhadap potensi
munculnya perbedaan kewarganegaraan berdasarkan latar belakang agama atau peletakan posisi
khusus untuk Agama Islam dalam tatanan konstitusional negara. Contoh partai ini adalah PDIP
dan PDS.
Pada posisi sayap kanan terletak kekuatan politik yang menilai bahwa Agama Islam harus
merupakan bagian tak terpisah dari roh dan semangat kebangsaan Indonesia. Contoh partai ini
adalah PPP, PKS, PBB dan PBR.
Sekian puluh tahun yang lalu pecahan politik/ideologis antara kedua kelompok ini tak
terjembatani. Pada waktu itu bangsa boleh dianggap terpolarisir antara kedua visi kebangsaan
ini. Kegagalan untuk menentukan secara final terhadap posisi Agama Islam dalam rancangan
konstitusi dalam Konstituante pada akhir tahun 1950an merupakan bukti dahsyatnya pecahan
tersebut.
Namun demikian pada zaman modern, nampak bangsa Indonesia berhasil mengembangkan visi
"menengah " di antara kedua visi tradisional. Secara singkat saya menyebut posisi menengah ini
sebagai Negara Ketuhanan. Kekuatan politik di ranah menengah ini menilai Islam beserta agama
lain sebagai sumber pemikiran yang dapat mengilhami kebijakan publik, walau tidak sebagai
penentu atau dasar. Contoh partai di ranah menengah ini adalah Golkar, PKB, Demokrat dan
PAN.
Seringkali PKB dan PAN dianggap sebagai partai Islam, mungkin karena kedua partai ini
mempunyai hubungan khusus dengan organisasi massa Islam di Indonesia. Namun demikian
saya tidak menilai bahwa pengelompokan ini benar. Misalnya dalam debat MPR tentang
penerapan Piagam Jakarta, kedua partai ini justru menolak penerapan Piagam sedangkan partai
Islam (kubu kanan) seperti PPP dan PBB merupakan pendukung.
* Artikel ini diterbitkan dalam edisi Tempo tertanggal 31 Maret − 6 April 2009. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Tempo atas izin untuk menayangkan artikel ini dalam website
kami.
Kemudian di dalam organisasinya sampai ke posisi tinggi politiknya jumlah akivis kedua partai
ini yang non-Muslim cukup tinggi termasuk yang menjadi calon legislatifnya.
Baru-baru ini dalam diskursus nasional tentang bakal calon presiden 2009, pernah muncul
wacana agar perlu diajukan calon Presiden yang berhaluan Islamis. Walapun partai seperti PPP
dan PKS serta aktivis Islamis lainnya menilai positif ide tersebut dalam kurun waktu satu hari
baik PAN maupun PKB menolak perlunya wacana atau "calon Islam " dengan argumen bahwa
semua calon presiden yang muncul adalah pemeluk Agama Islam.
Pada umumnya jika ingin menenukan garis pembelahan dalam sebuah masyarakat, perlu
ditemukan isu "ligtning rod ", yaitu isu yang secara sangat tegas membelah masyarakat politik.
Selama beberapa tahun terakhir ini, saya menilai bahwa produk legislatif paling menghebohkan
adalah UU Pornografi. Dalam debat ini kelihaan sekali pecahan antara kiri dan kanan serta peran
mediasi yang dilakukan oleh pihak di ranah menengah.
Sebagaimana diingat, kedua partai kiri menolak secara total RUU ini sedangkan partai dari kubu
kanan mendukung versi awal yag bersifat pornografi dan pornoaksi.
Peran partai menengah dalam debat ini adalah melunakkan beberapa elemen pada RUU ini
sehingga tidak se-ekstrim seperti rancangan awal.
Sebelum ini debat MPR tentang Piagam Jakarta merupakan contoh lightning rod politik. Kubu
kiri dengan sangat tegas dan bulat menolak wacana menuju ke situ, kubu kanan mendukungnya.
Sekali lagi pihak menenegah main peran untuk menjembatani kedua kubu ini. Walau setiap
unsur dari kubu menengah menolak Piagam, namun tetap dibuka negosiasi tentang apa yang
dapat diterima kubu kana agar tetap berjuang secara sehat dalam sistem.
Peran kubu menengah sebagai jembatan merupakan landasan stabilitas politik Indonesia yang
substantif. Landasan stabilitas substantif ini menjadi semakin kokoh mengingat konsentrasi
suara pemilih Indonesia berada di ranah menengah ini. Secara umum dapat dikatakan suara
pemilih moderat ini merupakan mayoritas mutlak di Indonesia.
Dengan realitas bahwa ranah menengah merupakan rumah untuk mayoritas pemilih tidak
menjadi menherankan jika partai di kubu kiri dan kanan berupaya untuk merangkul pemilih dari
menengah. Misalnya untuk membuktikan diri partai terbuka pada aktivis Islam, PDIP membuka
jaringan dukungan Islam sedangkan dari kubu kanan PKS melakukan kegiatan besar di Bali agar
menunjukkan bahwa partai terbuka untuk semua warga negara. Tindakan partai-partai ini sangat
rasional walau tidak bebas ancaman. Misalnya jika pindah terlalu jauh dari "habitatnya "
dukungan partai tersebut dapat diancam oleh partai lain yang lebih tegas membela posisi
* Artikel ini diterbitkan dalam edisi Tempo tertanggal 31 Maret − 6 April 2009. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Tempo atas izin untuk menayangkan artikel ini dalam website
kami.
tradisional masyarakat pemilih tersebut dan yang mencari dukungan dari bagian "pasar pemilih "
yang sama.
Dalam hal ini saya menilai bahwa tingkat stabilitas politik substantif yang ada di Indonesia
sekarang ini telah mencapai titik paling tinggi dalam sejarah Republik. Sumber kelabilan zaman
ini tinggal ego ketokohan jika yang bersangkutan tidak mau mematuhi vonis rakyat.
Pengendalian terhadap tipe tokoh yang "spoiler " ini adalah penciutan tingkat dukungan untuk
diri dan partainya pada pemilu berikut. Dalam hal ini putusan terakhir berada di tangan
masyarakat pemilih.
* Artikel ini diterbitkan dalam edisi Tempo tertanggal 31 Maret − 6 April 2009. Kami
mengucapkan terima kasih kepada Tempo atas izin untuk menayangkan artikel ini dalam website
kami.
|
|
|
Back to Top
|