Pemilu Asia

Selamat datang di Pemilu.asia

Pemilu
Pemilu Presiden
Pemilu Legislatif
Pilkada
Anggota Terpilih
Daftar Nama Calon
Riwayat Hasil per Provinsi
Jendela Provinsi
Pergeseran Suara
Info Parpol
Hasil dalam Peta
Kajian
Link - link
Share/Bookmark
Pemilu Presiden, Legislatif, Pilkada

Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992 di tingkat Provinsi dengan perbatasan provinsi yang disesuaikan dengan Tahun 2008
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1992 di tingkat Provinsi dengan perbatasan provinsi yang disesuaikan dengan Tahun 2008
Pilpres

Kajian
Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2004
2004-04-30
Pengantar Salah satu perubahan paling fundamental yang telah terjadi di Indonesia sejak awalnya proses Pembaharuan (Reformasi) adalah perubahan peran pemilihan umum (pemilu) dalam tatanan politik negara. Perubahan penting, antara lain, yang dapat dilihat termasuk landasan ideologis yang diberlakukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Selama paling sedikit 5 pemilihan umum sebelum 1999, pemilihan umum diselenggarakan sebagai mekanisme untuk mengukuhkan kembali sistem politik yang berlaku. Secara singkat pemilihan umum pada zaman tersebut diterapkan untuk mengesahkan kembali sistem politik Orde Baru. Pemilihan umum tidak merupakan wadah persaingan antara peserta yang dapat menggantikan kepemimpinan politik nasional. Malah salah satu Menteri Dalam Negeri pada saat tersebut “mengingatkan” rakyat bahwa pemilihan umum tidak merupakan kesempatan untuk “main politik”1. Pemilihan Umum Tahun 1999 merupakan pemilihan umum pertama yang bersifat pemilu berasas persaingan terbuka (competitive elections) sejak pemilihan umum untuk DPRD Provinsi se–Kalimantan pada Tahun 1958. Perbedaan paling besar yang dapat dilihat antara pemilu 1999 dan pemilu sebelumnya adalah di bidang penyelenggaraan pemilu. Pada pemilu sebelumnya badan penyelenggara pemilu ikut menjamin kemenangan (dan kelangsungan) sistem politik Orde Baru. Pada Tahun 1999 fungsi badan penyelenggara pemilu berubah agar menjamin (termasuk dengan pelembagaan beberapa mekanisme pembuktian integritas) bahwa preferensi para pemilih benar–benar dicerminkan dalam hasil pemilu sendiri. Selain badan penyelenggara pemilu, unsur–unsur lain yang mempengaruhi proses kepemiluan (electoral atau masalah–masalah yang menyangkut pemilihan umum) juga bermain peran dalam mendukung pelaksanaan pemilu secara kompetitif. Unsur–unsur ini termasuk: • Kebebasan pers untuk meliputi pemilu dan meliputinya secara netral; • Kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai politik baru yang bebas dari “restu” pemerintah; • Kebebasan masyarakat untuk memantau proses pemilihan umum; • Kebebasan pegawai negeri sipil untuk tidak harus mendukung dan memilih Golkar; • Pendirian posisi netral dari aparatur terhadap masing–masing peserta pemilu; • Kebebasan tekanan negara terhadap pemilih agar memilih atau tidak memilih salah satu peserta pemilu2. Sistem pemilu 1999 Sistem pemilu, yaitu mekanisme untuk mengalihkan suara pemilih menjadi kursi, tidak mengalami perubahan yang substantif. 1 Pernyataan dari Jen Yogie S. Memet sebagai Mendagri sebelum dimulainya kampanye Pemilu 1997. 2 Kebebasan ini memang tidak multak sebagaimana dilihat dalam laporan kelompok pemantau, mislanya Forum Rektor, KIPP, UNFREL, JAMPPI. Namun tingkatnya jauh lebih rendah pada dulu dan tidak diarahkan kepada dukungan terhadap satu pihak partisan saja. Ciri khas sistem pemilu yang diberlakukan pada Tahun 1999 adalah sebagai berikut:  Sistem perwakilan berimbang;  Besaran daerah pemilihan besar (sebesar provinsi);  Daftar calon tertutup (pemilih hanya memilih tanda gambar);  Daftar calon tidak sama dengan daerah pemilihan, yaitu ada beberapa sub–daftar sesuai dengan jumlah kabupaten/kota dalam daerah pemilihan atau jumlah kecamatan dalam daerah kabupaten/kota untuk DPRD Kab/Kota;  Pemenang kursi berdasarkan “kinerja” partainya di kabupaten. Tafsir “kinerja” sangat tidak jelas3 atau tegas sehingga pemenang kursi dapat disesuaikan setelah hasil penghitungan suara diselesaikan;  “Perimbangan” perwakilan antara wilayah Pulau Jawa dan wilayah di luar Jawa. Maksud diskriminasi terhadap pemilih di Pulau Jawa dibuktikan karena ongkos kursi lebih mahal dari pada di wilayah luar Jawa4. Pada saat tersebut belum ada mekanisme secara konstitusi untuk mengatur perwakilan dari daerah sehingga DPR dipaksa melakukan “dwi–fungsi”, yaitu sebagai wadah untuk perwakilan rakyat (penduduk) dan daerah (wilayah)5;  Pemilu serentak (semua tingkat pemerintahan dipilih pada saat yang sama);  7% kursi DPR dan 10% kursi DPRD tidak disisi melalui proses pemilihan umum6;  Semua orang yang dipilih berasal dari partai politik peserta pemilu;  Tidak ada upaya untuk memacu kesetaraan jender dalam lembaga perwakilan. Sistem Pemilu 2004 Pada Pemilu 2004 hampir semua pembaharuan terhadap penyelenggaraan pemilu pada Tahun 1999 dipertahankan. Selain itu ada permulaan terhadap proses desentralisasi badan penyelenggara pemilu secara hukum7. Perubahan paling penting pada pemilu 2004 dapat dilihat pada sistem pemilihan umum sendiri, namun masih ada beberapa persamaan. Sistem pemilihan umum 2004 sebagai berikut:  Sistem perwakilan berimbang untuk DPR dan DPRD sedangkan sistem distrik (4– past–the–post) untuk DPD yang baru dibentuk; 3 Istilah yang dipakai adalah suara terbanyak (jumlah) atau suara terbesar (persentase) sehingga penentuna pemenang cenderung diatur setelah hasil penghitungan suara sudah jelas. 4 Walau hasil perekayasaan jumlah penduduk dan jumlah kabupaten/kota dalam sebuah [provinsi menghasilkan 50% kursi di Jawa dan 50% kursi di luar Jawa sebetulnya diskriminasi ini juga dirasakan provinsi luar Jawa seperti Riau, Sumsel, Sumut dan NTB. Sedangkan ongkos kursi di daerah seperti Timtim separuh ongkos kursi nasional sedangkan pemilih Papua dan NTT juga menikmati overrepresentasi yang cukup menonjol. Misalnya penduduk NTB dan NTT hampir sama namun jumlah wakil dari NTB berjumlah 9 sedangkan di NTT jumlahnya 13. Perbedaan antara kedua provinsi ini adalah jumlah kabupaten/kot. Pada saat tersebut ada 7 kabupaten/kota di NTB sedangkan di NTT ada 13. 5 Kehadiran Utusan Daerah dalam MPR merupakan mekanisme yang ada, namun secara substantif sangat tidak efektif dalam konteks kegiatan atau hasil pekerjaan legislatif 6 Kursi ini disediakan untuk Anggota TNI dan Polri. “Pengangkatan” anggota badan legislatif telah terjadi pada setiap pemilu nasional sejak Tahun 1955. Pada kedua pemilu Tahun 1955, ada pengangkatan terhadap suku non–pribumu (Arab, Indo dan Tiongkok,) serta orang Papua yang, karena wilayah mereka masih diduduki Belanda, belum dapat ikut pemilu nasional. Pemilu pertama nasional pertama yang bebas pengangkatan adalah Pemilu 2004. 7 Hal ini dilaksanakan melalui pendirian Komisi Pemilihan Umum Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.  Besaran daerah pemilihan dikecilkan (provinsi berpenduduk besar dibagi ke dalam lebih dari 1 daerah pemilihan dengan prinsip satu daerah pemilihan maksimum 12 kursi);  Pemenang kursi berdasarkan daftar urutan calon kecuali jika ada calon yang meraih suara paling sedikit sama dengan bilangan pembagi suara untuk daerah pemilihan tersebut;  Daftar calon dibuka agar pemilih berhak menunjukkan preferensi antar calon dari partainya8;  Daftar calon sama dengan daerah pemilihan;  Prinsip 1 orang 1 suara 1 mulai ditegakkan kembali (untuk pertama kali sejak tahun 1950an), walau masih ada “subsidi” untuk provinsi berpenduduk kecil seperti Gotontalo, Maluku Utara, Irian Jaya Barat dan Papua serta NTT9;  Pemilu serentak (semua tingkat perwakilan dipilih pada saat yang sama);  Tidak ada orang yang diangkat dalam DPR, DPD ataupun DPRD;  Semua anggota DPR dan DPRD tetap berasal dari partai. Namun yang dipilih sebagai wakil DPD bersifat “non–partisan” (sic!10);  Ada pasal “imbauan politik”11 agar partai menempatkan paling sedikit 30% calon perempuan. Kajian terhadap Pemilihan Umum Legislatif 2004 Ada beberapa temuan menarik yang dapat dilihat tentang Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004. Hal yang dikaji telah dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu masalah pencalonan dan masalah pola pemilihan: Pencalonan  Konsentrasi orang Jabodetabek12 dalam daftar calon DPR–RI;  Penempatan calon setempat pada urutan pertama pada DP untuk Daftar Calon Tetap DPR–RI;  Penempatan calon perempuan pada urutan teratas pada Daftar Calon Tetap DPRRI;  Jumlah dan persentase perempuan yang menjadi calon DPD serta jumlah dan persentase perempuan yang meraih kursi di DPD;  Persentase perempuan yang meraih kursi di DPR–RI dengan 3 mekanisme penentuan pemenang; Pola pemilihan  Tingkat kemajemukan keparpolan Indonesia (1955, 1999 dan 2004);  Dampak pemilihan serentak pada setiap tingkat pemilu (1999 dan 2004);  Perbandingan pemilih yang memilih calon bersama partai dan yang memilih partai; 8 Meskipun demikian, kuota (persentase suara) yang harus diraih oleh seorang calon pribadi terlalu tinggi sehingga secara umum dijuluk sistem daftar calon “setengah terbuka” 9 Meskipun ada provinsi kecil yang akan menikmati over–representatsi, secara umum perbedaan ongkos kursi telah sangat diperkecil. 10 Konsep “non–partisan” untuk seorang anggota legislatif agar kurang jelas dalam praktek. Penerapan konsep ini lebih mencerminkan sikap anti–partai dari masyarakat politik di luar partau politik dari pada realitas politik yang bakal muncul kalau DPD mulai bersidang. 11 Oleh sebab pasal tersebut tidak diperkuat dengan sangsi bagi yang tidak mengindahkannya, maka pasal tersebut hanya mengikat secara politik 12 DKI Jakarta, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang dan Kota Bekasi  Perbandingan partai yang pemilihnya memilih calon bersama partai dan yang memilih partai. Konsentrasi orang Jabodetabek dalam daftar calon DPR–RI Maksud kajian Maksud kajian ini adalah mengukur sejauh mana partai politik peserta pemilu telah dipengaruhi oleh proses desentralisasi dengan otonomi dearah yang telah berlangsung di sektor pemerintahan selama empat tahun terakhir ini. Asumsi kajian ini adalah semakin sedikit ketergantungan sebuah partai politik peserta pemilu pada pencalonan dari wilayah Ibu Kota, maka semakin kuat pemberlakuan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah dalam partai tersebut; dan sebaliknya semakin besar persentase calon dari “pusat”, maka semakin kuat sifat sentralisme dalam politik internal partai tersebut. Pelaksanaan kajian Kajian ini menunjukaan sejauh mana partai politik peserta pemilu menggantungkan diri pada orang yang berdomisili di wilayah Jabodetabek. Data tentang domisili calon diserahkan oleh partai kepada KPU. Bahwa ada calon yang mempunyai lebih dari pada satu tempat “domisili” atau dapat memanipulasi masalah domisili tidak dapat dipungkiri. Namun demikian, tempat domisili yang diserahkan oleh partai kepada KPU dianggap sebagai domisili yang ingin dianggap sebagai lokasi identifikasi para calon tersebut. Untuk kepentingan kajian ini wilayah–wilayah Jabodetabek dikecualikan dari kajian. Hal ini dikarenakan yang menjadi fokus kajian adalah persentase calon yang menjadi calon dari “pusat”. Oleh sebab itu daerah pemilihan “pusat”, yaitu wilayah urban di sekitar Jakarta tidak dimasukkan. Dengan demikian untuk kajian ini calon di kedua daerah pemilihan (DP) di DKI, serta DP 2 di Banten (Tangerang), DP 4 di Jawa Barat (Bogor) dan DP 5 di Jawa Barat (Depok dan Bekasi) tidak masuk ke dalam penghitungan ini. Dengan demikian dari ke–69 DP yang dibentuk untuk DPR, maka calon dari 64 DP dikaji dari segi domisilinya. Perluasan konsep “orang pusat” sampai ke wilayah perkotaan di pinggir Jakarta disebabkan perluasan persatuan komunitas melalui proses kon–urbanisasi yang terlihat dengan pengaburan perbatasan kehidupan antara penduduk yang tinggal di masingmasing wilayah urban ini. Misalnya banyak orang yang tinggal di Kota Depok bekerja di Jakarta Pusat, atau sebaliknya ada banyak orang yang tinggal di wilayah Jakarta Selatan namun bekerja/belajar di Kota Depok. Dalam hal ini perbatasan antara kota bahkan provinsi kehilangan arti demografik, ekonomi atau sosial. Untuk kajian ini, kenyataan ini dihormati sehingga orang “pusat”, misalnya anggota DPP partai tidak dapat asumsi hanya tinggal di Jakarta, namun di seluruh wilayah Jabodetabek. Tata cara kajian Setiap calon untuk DPR, dikeculaikan calon untuk ke–5 DP di dalam dan di sekitar DKI, dikaji tempat domisilinya. Data ini disediakan oleh KPU melalui websitenya, yaitu: www.kpu.go.id. Setiap daftar partai peserta pemilu diperiksa untuk menghitung jumlah calonnya yang berdomisili di Jabodetabek. Lokasi domisili lainnya tidak diperhitungkan, walau jumlah total calon per partai tetap dihitung. Persentase calon yang berdomisili di Jabodetabek dihitung sebagai persentase jumlah total calon dari ke–24 partai tersebut di 64 DP untuk DPR RI. Temuan % Partai Lambang % Partai Lambang % Partai Lambang % Partai Lambang 36 PDK 6 56 PKB 15 62 PNIM 1 70 PD 9 41 PKS 16 58 PM 4 62 PBR 17 71 PBSD 2 43 PNBK 8 59 PBB 3 63 Golkar 20 74 PIB 7 47 PPD 23 60 Pelopor 24 66 PPNUI 12 76 PKPB 14 48 PDIP 18 61 PKPI 10 67 PSI 22 77 PDS 19 56 PPP 5 62 Patriot 21 69 PAN 13 77 PDI 11 Persen calon DPR RI yang tinggal di Jabotabek Temuan yang paling menyolok dalam kajian ini adalah tingkat sentralisasi partai politik dalam hal pencalonan. Walaupun penduduk di wilayah Jabodetabek hanya merupakan 10% dari penduduk Indonesia, namun sebanyak 61% calon untuk DPR–RI tinggal di wilayah ini. Secara statistik hal ini berarti orang dari Jabodetabek sekitar 14 kali lebih mudah menjadi calon DPR dibandingkan warga negara Indonesia yang lain. Salah satu temuan lain yang dapat dilihat adalah partai lama belum tentu menunjukkan kemampuan untuk mengangkat calon di luar wilayah Jabodetabek. Malah salah satu partai dengan organisasi paling lama di Indonesia, yakni PPDI (dulu PDI) merupakan partai yang paling mengandalkan calon dari Jabodetabek, sedangkan Golkar sendiri masih relatif lebih mengandalkan calon dari Jabodetabek dibandingkan rata–rata. Tabel di bawah menunjukkan hasil kajian serupa yang dilaksanakan untuk Pemilu 199913. Yang ditampilkan di bawah adalah ke30 partai yang mempunyai jumlah calon yang signifikan. Salah satu perubahan adalah persentase calon dari Jabodetabek telah justru naik selama 5 tahun terakhir. Pada Pemilu 1999, persentase calon dari Jabodetabek rata–rata 43 persen. 13 Kajian serupa dilaksanakan penulis berdasarkan daftar calon yang diterbitkan oleh KPU sebelum Pemilihan Umum Tahun 1999. Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2004 30 April 2004 Hal 6 13 Suni 27 PDKB 39 PILAR 45 PND 63 PSII 16 PDR 29 PAY 40 PDI 49 MKGR 65 SPSI 20 PCD 31 PNI 41 PK 51 PDI–P 65 PKM 22 PKB 33 Republik 42 IPKI 52 PIB 66 PADI 23 PP 34 PNU 43 Krisna 57 PBB 68 Golkar 25 PPP 36 PA/ 45 PUI 63 PKU 74 PKP Jika dilihat lebih dekat pada ke–9 partai yang ada pada pemilu 1999 dan 2004 (terdiri dari ke–6 yang otomatis masuk ke Pemilu serta PKPI, PKS dan PPDI) ada 3 kelompok. Ada kelompok yang memperbaiki jangkauan dan meningkatkan orang di luar Jabodetabek yang menjadi calon (PKPI). Kemudian kelompok kedua adalah partai yang bobot berat pencalonan dari Jabodetabek dan luar Jabodetabek kurang lebih sama, yakni PK(S), PDIP, PBB dan Golkar. Akhirnya ada 4 par
Daftar Pustaka Alfian; Hasil Pemilihan Umum 1955 untuk Dewan Perwakilan Rakjat; Leknas LIPI; Jakarta; 1971 Evans, Kevin; Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia; Arise; Jakarta; 2003 Feith, Herbert; The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia; Cornell University Press; New York;1962 Lijphart, Arend; Patterns of Democracy; Yale University Press, New York; 1999 Komisi Pemilihan Umum; www.kpu.go.id Mainwaring, Scott; Rethinking Party Systems in the Third Wave of Democraticisation: The Case of Brazil; Stanford University Press, Stanford, 1999 Shugart, Mathew Soberg dan Carey, John M.; Presidents and Assemblies; Cambridge University Press; Cambridge; 1992 Simanungkalit, Salomo, Nainggolan, Bestian, Santoso, F. Harianto; Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004: Kompas, Jakarta, 2004

Back to Top

Copyright©2009 www.pemilu.asia